Efarinatv.net – Di tengah gemuruh reformasi yang masih bergema, langkah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres Nomor 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, menjadi titik balik sejarah yang tak terlupakan. Keputusan itu bukan sekadar perubahan kebijakan, melainkan loncatan budaya yang mengembalikan denyut nadi keberagaman Indonesia.
Dari Pelarangan ke Pembebasan: Imlek di Bawah Bayang-Bayang Orde Baru
Selama 32 tahun rezim Orde Baru, perayaan Imlek disembunyikan dalam ruang-ruang sunyi. Aturan diskriminatif Soeharto memaksa etnis Tionghoa menanggalkan identitas: larangan menggunakan bahasa Mandarin, pembatasan ritual keagamaan, hingga perayaan Imlek yang hanya boleh dilakukan secara tertutup. Bagi banyak keluarga Tionghoa, Imlek menjadi “festival yang bisu”—dirahasiakan, namun tak pernah mati.
Gus Dur, dengan visi pluralisme-nya yang tajam, melihat ini sebagai luka kolektif. “Kita bukan bangsa yang monokrom. Indonesia adalah pelangi, dan pelangi tak akan indah tanpa warna-warnanya,” ujarnya dalam suatu kesempatan. Pada 2001, ia memutuskan: Imlek tak lagi perlu disembunyikan.
Bukan Hanya Tentang Angpao dan Barongsai
Kebijakan Gus Dur bukan sekadar mengizinkan perayaan Imlek. Lebih dari itu, ia membuka pintu bagi rekonsiliasi budaya. Pemerintah secara resmi mengakui Konghucu sebagai agama, menghapus stigma “atheis” yang melekat pada penganutnya. Imlek pun tak lagi sekadar hari raya keagamaan, melainkan simbol kebangkitan identitas Tionghoa-Indonesia.
Yang unik, Gus Dur melakukan ini dengan pendekatan kultural, bukan politis. Dalam satu wawancara, ia bercerita tentang pengalamannya berdialog dengan tokoh Tionghoa di Lasem, Jawa Tengah, yang menyebut Imlek sebagai “titian untuk mengingat leluhur”. “Jika kita melarang seseorang menghormati leluhurnya, apa bedanya kita dengan bangsa barbar?” katanya.
Imlek 2002: Pesta Rakyat Pertama yang Menggema
Pada tahun 2002, tepat setahun setelah keputusan revolusioner Gus Dur yang mengesahkan Imlek sebagai hari libur nasional, Indonesia menyaksikan perayaan Imlek yang jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Imlek 2002 bukan hanya menjadi perayaan agama atau etnis tertentu, tetapi menjelma menjadi sebuah pesta rakyat pertama yang menggetarkan seluruh nusantara, sebuah momentum yang menandai kebangkitan keberagaman dalam ruang publik Indonesia.
Di jantung kota Jakarta, tepatnya di Glodok, kawasan yang sejak lama dikenal sebagai pusat komunitas Tionghoa, barongsai mulai menari dengan lincah di jalanan yang sebelumnya tidak pernah membayangkan adanya perayaan sebesar itu. Tak ada lagi keraguan atau rasa takut. Barongsai, yang dahulu sering kali hanya bisa disaksikan di lingkungan terbatas, kini tampil bebas di tengah hiruk-pikuk kota, menyambut tahun baru dengan gemerlap warna dan suara drum yang memecah kesunyian. Orang-orang dari berbagai etnis, agama, dan latar belakang berdiri berdampingan, saling menikmati pesta budaya yang menyatukan.
Di tengah keramaian itu, di sebuah kelenteng yang sebelumnya sering terlihat sepi dan hanya dipenuhi jemaat Tionghoa, kini ramai dipenuhi oleh masyarakat yang datang dari berbagai penjuru Jakarta. Masyarakat Betawi, Jawa, Sunda, dan berbagai suku lainnya tampak begitu antusias menyaksikan prosesi perayaan Imlek yang sarat makna. Kelenteng yang dulu jarang dikunjungi, kini menjadi ruang publik yang terbuka, menjadi simbol dari kebebasan dan penghargaan terhadap pluralitas.
Tan Mei Ling, seorang nenek berusia 80 tahun yang sejak kecil tidak pernah bisa menyaksikan perayaan Imlek secara terbuka karena larangan rezim Orde Baru, tak kuasa menahan haru. Matanya berkaca-kaca ketika melihat kembali liong (naga) yang penuh warna menari di depan mata, sebuah simbol yang selama puluhan tahun sempat terpinggirkan. “Saya tak menyangka bisa melihat liong kembali dirayakan di depan mata. Ini adalah kebebasan yang luar biasa,” ujarnya dengan suara bergetar, mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. Bagi Tan Mei Ling, ini bukan sekadar perayaan, tetapi simbol kebebasan yang mengembalikan martabat dirinya dan komunitasnya.
Pesta rakyat Imlek 2002 tak hanya menggelegar di ibu kota, tetapi juga menggema di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di Singkawang, Kalimantan Barat, festival Cap Go Meh yang diadakan pada hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek menjadi acara tahunan yang mendatangkan ribuan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Singkawang yang dikenal dengan julukan “Kota Seribu Kelenteng” menjadi saksi bagaimana sebuah kota kecil bisa mengubah wajahnya menjadi pusat kebudayaan yang inklusif dan meriah, menarik perhatian semua kalangan untuk bergabung merayakan keragaman. Parade barongsai dan liong, yang berkeliling di sepanjang jalan utama, tak hanya dilihat oleh warga Tionghoa, tetapi juga oleh warga dari suku-suku lain yang ikut merayakan semangat kebersamaan.
Warisan Gus Dur: Pluralisme yang Menyala
Ketika Presiden Abdurrahman Wahid, yang lebih akrab disapa Gus Dur, mengesahkan keputusan bersejarah pada tahun 2001, ia tak hanya membuka pintu toleransi yang lebih luas di Indonesia, tetapi juga menegaskan bahwa negara ini seharusnya dihormati karena keberagaman yang ada di dalamnya. Salah satu langkah monumental yang ia ambil adalah melegalkan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Keputusan ini, meskipun menuai kritik tajam dari sebagian kalangan konservatif yang merasa khawatir dengan pengaruh budaya asing, tidak membuat Gus Dur mundur se inci pun.
“Jika ada yang marah karena Imlek dirayakan, biarkan mereka marah. Kebenaran harus lebih keras dari teriakan ketakutan,” kata Gus Dur dengan keyakinan penuh, mencerminkan keberanian dan integritas yang menjadi ciri khasnya.
Bagi Gus Dur, keberagaman bukan hanya suatu kondisi yang harus diterima, tetapi sebuah kekayaan yang harus dijaga dan dirayakan. Baginya, Indonesia adalah rumah besar bagi berbagai suku, agama, dan budaya yang memiliki hak yang sama untuk dihargai dan dipertahankan. Momen Imlek, yang dulu terpinggirkan sebagai perayaan etnis Tionghoa, akhirnya mendapatkan tempat yang layak dalam panggung kehidupan nasional.
Keputusan Gus Dur tersebut memberikan dampak yang langgeng dan mendalam terhadap kehidupan sosial-politik Indonesia. Pada tahun 2003, Imlek secara resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional, membuktikan bahwa kebijakan yang berbasis pada nilai pluralisme dan toleransi dapat memperkaya dan menguatkan ikatan sosial antarbangsa. Imlek, yang sebelumnya terbatas hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, kini menjadi bagian dari mozaik budaya yang lebih besar. Semua kalangan, tanpa memandang latar belakang etnis atau agama, dapat merayakan kebersamaan, memahami makna tradisi, dan memperkuat rasa nasionalisme yang lebih inklusif.
Lampion yang Tak Pernah Padam
Gus Dur mungkin telah tiada, tetapi kebijakannya tentang Imlek menjadi bukti: keberanian memeluk keragaman adalah jalan menuju Indonesia yang utuh. Seperti lampion yang terus menyala, warisannya mengingatkan kita bahwa di negeri ini, tak ada tradisi yang boleh dipenjara dalam kegelapan.
“Indonesia bukan negara agama, bukan negara etnis. Indonesia adalah negara untuk semua orang.”
—KH. Abdurrahman Wahid (1940–2009)