Efarinatv.net – Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang terus meningkat prevalensinya di seluruh dunia. Kondisi ini ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi akibat gangguan pada produksi atau fungsi insulin. Biasanya, penanganan diabetes difokuskan pada pengaturan pola makan, aktivitas fisik, dan pemberian obat-obatan. Namun, banyak yang melupakan satu aspek tidak kalah penting: aspek psikologis. Stres, depresi, dan dukungan sosial ternyata berpengaruh signifikan terhadap kestabilan gula darah, sekaligus kualitas hidup penderita diabetes.
Stres yang berlarut-larut dapat memicu pelepasan hormon kortisol dan adrenalin, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kadar gula darah. Sebaliknya, rasa tertekan dan depresi sering membuat penderita diabetes kesulitan disiplin dalam menjalani pola makan dan rutinitas obat. Situasi ini bisa memperburuk kondisi fisik dan mental secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemahaman menyeluruh mengenai aspek psikologis—termasuk bagaimana mengatasi stres, mencegah depresi, dan memanfaatkan dukungan sosial—amat krusial dalam manajemen diabetes yang efektif.
Artikel ini akan membahas bagaimana stres dan depresi memengaruhi kendali gula darah, serta bagaimana dukungan sosial berperan dalam membantu penderita diabetes menjalani kehidupan yang lebih baik.
Hubungan Antara Stres dan Diabetes
Stres adalah respons alami tubuh terhadap tekanan, baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam konteks evolusi, stres berguna untuk mempersiapkan tubuh menghadapi situasi berbahaya. Hormon seperti kortisol dan adrenalin akan meningkat, memicu reaksi “fight or flight” yang membuat tubuh siap bertindak cepat. Pada saat yang sama, proses ini meningkatkan kadar glukosa dalam darah agar tersedia cukup energi untuk digunakan otot dan otak.
Sayangnya, pada penderita diabetes—terutama yang mengalami resistensi insulin (diabetes tipe 2)—peningkatan glukosa darah akibat stres tidak dapat ditangani dengan efektif. Sel-sel tubuh tidak mampu memanfaatkan glukosa secara optimal karena insulin tidak bekerja sebagaimana mestinya. Akibatnya, kadar gula darah bisa tetap tinggi untuk jangka waktu yang cukup lama.
Selain itu, stres kronis berpotensi mengganggu rutinitas pengelolaan diabetes. Beberapa orang merespons stres dengan makan berlebihan (emotional eating) atau memilih makanan yang kurang sehat sebagai upaya self-soothing. Hal ini tentu berdampak negatif terhadap kadar gula darah. Belum lagi jika stres membuat seseorang mengabaikan jadwal minum obat, suntik insulin, atau memeriksa gula darah. Oleh karena itu, kemampuan mengelola stres dapat memengaruhi tingkat keberhasilan pengendalian diabetes.
Depresi dan Pengaruhnya pada Gula Darah
Depresi adalah gangguan suasana hati yang ditandai dengan perasaan sedih berkepanjangan, kelelahan, kehilangan minat atau kegembiraan, dan gangguan tidur. Bagi penderita diabetes, depresi sering muncul sebagai akibat dari beban penyakit yang harus dikelola seumur hidup. Kekhawatiran tentang komplikasi jangka panjang, biaya pengobatan, maupun stigma sosial turut menambah beban psikologis.
Ketika seseorang mengalami depresi, ia mungkin merasa tidak punya energi atau motivasi untuk melakukan rutinitas kesehatan. Misalnya, depresi dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk merawat diri—mulai dari menjaga pola makan, olahraga teratur, hingga memeriksa kadar gula darah secara konsisten. Pada gilirannya, hal ini memicu lingkaran setan: kendali gula darah memburuk, memperparah gejala fisik, dan semakin memperdalam perasaan terpuruk.
Lebih jauh, depresi sering dikaitkan dengan peningkatan peradangan (inflammation) dalam tubuh. Peningkatan kadar sitokin proinflamasi (misalnya IL-6, TNF-α) juga memengaruhi sensitivitas insulin. Selain itu, penderita diabetes yang mengalami depresi bisa saja mengalami perubahan pola makan menjadi lebih buruk (tinggi gula, lemak jenuh, dsb.) serta melewatkan waktu minum obat. Semua aspek ini berkontribusi pada peningkatan risiko komplikasi—mulai dari kerusakan saraf (neuropati), retinopati, hingga penyakit kardiovaskular.
Pentingnya Dukungan Sosial
Dalam menghadapi stres dan risiko depresi, dukungan sosial memegang peranan kunci. Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, teman, rekan kerja, maupun kelompok pendukung (support group) yang memiliki pengalaman serupa. Dengan adanya dukungan sosial, penderita diabetes merasa tidak sendirian dalam menjalani beban penyakit. Mereka bisa saling bertukar informasi, tips, dan strategi mengatasi tantangan sehari-hari.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penderita diabetes yang memiliki dukungan sosial baik cenderung lebih disiplin dalam mengonsumsi obat, memantau gula darah, dan menjaga gaya hidup sehat. Keterlibatan keluarga, misalnya, membantu memastikan bahwa makanan di rumah disiapkan sesuai anjuran gizi, atau mengingatkan anggota keluarga untuk berolahraga bersama. Dukungan sosial juga menciptakan ruang bagi penderita diabetes untuk menceritakan kekhawatiran dan mengekspresikan emosi, sehingga dapat membantu meredakan stres dan mencegah depresi.
Selain itu, dukungan dari tenaga medis dan konselor juga tidak kalah penting. Dalam banyak kasus, pengetahuan medis yang memadai dapat menghilangkan ketakutan dan miskonsepsi tentang diabetes. Hal ini berdampak positif terhadap kepercayaan diri penderita dalam mengelola kondisinya. Apalagi, di era digital saat ini, konsultasi dengan ahli gizi, psikolog, atau dokter bisa dilakukan secara daring, membuka kesempatan bagi lebih banyak penderita untuk mendapatkan bantuan.